Sekupang Pembeli Ketaya

anak sholehMenelusuri kembali kenang-kenangan Ramadhan masa kecilku tidak dapat dilepaskan dari satu sosok bernama cing Kodir. Beliau adalah anggota pengurus mushola yang berada di dekat rumahku.

Apa yang istimewa dari kenangan tentang beliau adalah karena setiap memasuki bulan Ramadhan, khususnya setiap acara sholat tarawih di musholla, beliau akan berubah menjadi "musuh bebuyutanku".

Penampilan cing Kodir sendiri sudah cukup menyeramkan untuk anak-anak dengan kumis tebalnya (mirip seperti kumis milik mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo), ditambah mata besar yang yang dipakai untuk memelototi anak-anak yang ribut saat sholat tarawih berlangsung, suaranya menggelegar saat membentak plus sebatang rotan kecil di tangan yang tak segan-segan mampir di bokong kami jika tidak juga mau diam. Sekali kena rotan, pedihnya minta ampun. Untung saja cing Kodir hidup dimasa-masa belum ada UU anti KDRT dan UU Perlindungan Anak, kalau tidak.... laughing

Aku tak begitu ingat sejak kapan aku dan cing Kodir jadi musuh bebuyutan setiap tarawihan di musholla, tapi yang jelas setiap kali aku dan teman-teman datang ke musholla, cing Kodir yang berdiri di pintu masuk, langsung memelototi kami sambil berkata setengah mengancam,

"Awas, yee... kalo ade yang berani ribut-ribut pas lagi teraweh, gue sabet lu-lu pade !," kata cing Kodir dengan logat Betawinya yang sangat kental.

"Iyeeeee, ciiiing....," jawab kami semua sambil tertawa-tawa yang membuat cing Kodir semakin sewot. Tak lupa dia menambahkan pelototan khusus kepadaku.

Tetapi yang namanya anak-anak, dinasehati seperti apapun, diancam seperti apapun, tetap saja kami ribut saat orang-orang sholat. Pasalnya sholat tarawih di musholla kami sangat melelahkan dan membosankan bagi anak-anak karena berlangsung sebanyak 20 rakaat + 3 rakaat sholat witir. Belum puas istirahat, sudah mulai rakaat baru. Apalagi imam musholla, wak haji Ali bacaan suratnya panjang-panjang. Qiro'ahnya merdu, sih... tapi lamaaaaaa...

Kalau sudah begitu, cing Kodir yang sholat di shaf pertama (namanya juga pengurus musholla), selalu menengok ke belakang, ke barisan anak-anak untuk menandai siapa saja yang ribut-ribut tadi. Dan kalau keributan yang kami buat sudah keterlaluan menurut ukurannya, maka dia beranjak dan menghampiri kami semua sambil membentak-bentak menyuruh kami semua diam. Kami semua mengangguk mengiyakan omongan cing Kodir sambil cekikikan, dan ribut lagi waktu sholat dimulai. Kalau sudah begitu, giliran batang rotan yang bicara.

Pola selanjutnya selalu sama, usai sholat tarawih, cing Kodir selalu menghadiahi kami jeweran di telinga dan meminta wak haji Ali tidak memberi tanda tangan dan cap mushola di buku kegiatan Ramadhan kami. Untung saja wak haji Ali pengertian. Beliau cuma menasehati kami dan tetap memberi tanda tangan.

Seperti yang aku tulis diatas, entah kenapa cing Kodir seperti memiliki dendam pribadi kepadaku karena setiap kali ia "melapor" kepada wak haji Ali, ia selalu menunjuk aku sebagai "biang keroknya" !.

"Ini, die...ni, ji... biang keroknye. Biang ribut waktu lagi sholat," lapor cing Kodir kepada wak haji Ali

Alhasil wak haji lalu memberi "tausiyah" tambahan kepadaku yang malah membuat aku semakin dongkol kepada cing Kodir, karena sesungguhnya yang ribut bukan aku saja, tetapi yang lain juga. Okelah... terkadang memang aku yang memulai keributan dengan mendorong teman disebelah, tapi lebih sering teman yang lain yang memulai dorongan. Tetapi rupanya di mata cing Kodir, semua keributan asalnya selalu dimulai dari aku.at wits' end

Rupanya dendam cing Kodir tidak sampai situ saja. Suatu kali dia bahkan melaporkan ulahku di musholla kepada ibuku, yang mengakibatkan aku kena marah dan disabet dengan batang lidi. Ibuku bahkan mengancam akan melapor kepada bapak kalau aku masih ribut juga di mushola. Ancaman ibu ampuh membuat aku ketakutan. Bapak memang jarang sekali marah, tetapi sekalinya marah... sudahlah, tak perlu aku ceritakan bagaimana. Untung saja waktu itu belum ada UU anti KDRT dan UU Perlindungan Anak.

Jadi, malam berikutnya, aku pergi tarawih ke musholla dan berusaha menjadi "anak baik-baik". Celakanya upayaku itu sama sekali tidak mendapat dukungan dari teman-temanku, yang semakin getol membuat keributan. Nasib malangku tidak berhenti sampai disitu saja. Usai sholat lagi-lagi cing Kodir menuduh aku yang membuat keributan. Sialnya, bagaimanapun aku membantah, dia tidak percaya dan berjanji untuk melapor kepada ibuku.

Cerita selanjutnya sudah bisa ditebak. cing Kodir melapor kepada ibu, ibu melapor kepada bapak, dan bapak... menyiapkan ikat pinggang.

Tragedi ini memberi pelajaran kepadaku bahwa benar seperti yang disebutkan dalam pepatah orang-orang tua dahulu bahwa kepercayaan orang itu mahal sekali harganya dan jika terlanjur hilang, sangat sulit mengembalikannya,

Setali pembeli kemenyan
Sekupang pembeli ketaya
Sekali lancung keujian

Seumur hidup orang tak percaya

Belakangan, ketika aku sudah semakin besar dan dibelikan sebuah sepeda, akupun mulai menjelajahi masjid-masjid dan musholla di kampungku setiap bulan Ramadhan untuk mencari tempat paling nyaman yang tidak ada cing Kodir-cing Kodirnya.

Suatu kali ketika aku hendak berangkat sholat tarawih ke Masjid Baitutaqdis, komplek Pusdiklat Bea dan Cukai, Rawamangun, Jakarta Timur, aku bertemu cing Kodir. Dia kemudian bertanya,

"Lu mau kemane ?."

"Mau terawehan, cing..." jawabku.

"Dimane ?," tanyanya lagi.

"Mesjid Bea Cukai, cing..." jawabku.

Cing Kodir hanya terdiam sambil mengangguk dan membalas salam yang aku berikan saat hendak berangkat pergi. Meskipun tidak dapat melihat, tetapi dapat aku rasakan tatapan cing Kodir mengiringi setiap kayuhan sepeda hingga aku berbelok di ujung jalan. Entah apa yang dirasakannya melihat aku tidak pernah lagi sholat tarawih di mushollanya, aku tak pernah tahu.


Cing : Cing/Encing berasal dari bahasa Betawi yang berarti "paman".

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar

0Komentar