Sebagai orang yang dilahirkan di Jakarta serta menghabiskan masa kecil dan remaja di sebuah kampung di jakarta Timur yang pada waktu itu masih dihuni mayoritas masyarakat Betawi, tentu saja saya jadi fasih berbahasa Betawi.
Bagaimana tidak jadi fasih ?, hampir semua teman dan tetangga saya orang Betawi. Sehari-hari berbahasa Betawi. Hanya di rumah dan di sekolah saja yang tidak berbahasa Betawi. Kalau di rumah, saya berbahasa daerah asal keluarga saya. Sedangkan di sekolah berbahasa Indonesia atau bahasa Jakarta.
Setelah lulus sekolah menengah, saya meninggalkan kota Jakarta dan merantau ke Cirebon, Jawa Barat. Dengan kota udang sebagai pangkalan, saya menjelajahi wilayah seputaran pantura, hingga ke Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pedagang keliling.
Karena teman-teman dan lingkungan pergaulan saya saat itu adalah lingkungan orang Sunda dan orang Jawa, otomatis saya pun jadi menguasai kedua bahasa itu, karena kedua bahasa itulah yang dipakai dalam kesehariannya. Sedangkan bahasa Betawi, bisa dibilang tidak pernah saya pakai.
Begitupun halnya ketika saya pindah rantau dari Jawa ke kota yang hingga kini saya diami. Kefasihan berbahasa Betawi saya kian tidak ada gunanya karena di kota yang memiliki julukan kota Bertuah ini bahasa sehari-hari yang dominan dipergunakan adalah bahasa Minang / Padang atau bahasa Indonesia dan sesekali diselingi bahasa Melayu.
Alhasil, kerinduan saya untuk menuturkan kembali bahasa Betawi, hanya bisa terpendam dalam hati. Belasan tahun tinggal dan beranak-pinak kota Bertuah ini, belum pernah satu kalipun saya bertemu dengan orang Betawi atau orang yang berbicara bahasa Betawi !.
Sampai beberapa waktu yang lalu, kerinduan saya akhirnya terjawab.
Suatu hari, seperti biasanya setiap kali hari Jum'at datang, saya dan rekan-rekan lainnya melaksanakan ibadah Sholat Jum'at di masjid yang terletak bersebelahan dengan komplek perkantoran. Semula tidak ada yang aneh atau tidak biasa pada pelaksanaan sholat Jum'at kali ini, kecuali saya lihat yang bertindak sebagai Mu'adzin adalah orang baru.
Orangnya masih muda dan bacaan adzannya cukup merdu dan enak di dengar. Dari gerak gerik dan kesibukannya, saya duga dia adalah ghorim baru pengganti ghorim lama yang kabarnya berhenti karena ingin menetap di kampung halamannya. Dan begitu saya tanya kepada salah seorang pengurus masjid yang duduk bersebelahan, ternyata dugaan saya tidak meleset. Dia memang ghorim baru.
Pertemuan kedua saya dengannya terjadi ba'da sholat Ashar hari itu juga. Usai sholat yang saya tunaikan agak terlambat karena kesibukan kerja, saya lihat ghorim baru itu sedang mengobrol di teras masjid dengan seorang anggota pengurus. Semula saya sama sekali tidak ambil perhatian kepada dia. Tapi telinga saya seperti meruncing ketika mendengar logat bicara yang dia ucapkan.
Logat bicaranya adalah logat yang dahulu sangat saya kenal dan amat akrab di telinga saya. Yaa... tidak salah lagi, logat bicaranya adalah logat yang menjadi ciri khas cara bicara orang-orang Betawi !.
Saya berhenti sejenak untuk menyimak pembicaraan dia dan pengurus masjid. Maksud hati ingin berlama-lama mendengar logat bicaranya, tapi bayangan banyaknya pekerjaan yang menumpuk membuat saya menahan diri dan terpaksa bergegas kembali ke kantor.
Malamnya, saya memberitahu orang rumah perihal ghorim baru tersebut.
"Dek, tadi siang abang melihat ghorim baru di masjid dekat kantor."
"Oh, yaa... memangnya kenapa ?," tanya orang rumah acuh tak acuh.
"Sepertinya dia orang Betawi," jawab saya.
Kali ini orang rumah menoleh sambil tersenyum kecil dan berkata,
"Jadi... sekarang abang bakal punya teman ngobrol, dong..."
Yahhh, memang tidak salah orang rumah saya berkomentar seperti itu. Dia sangat mengerti kerinduan saya untuk mengobrol dengan seseorang dalam bahasa Betawi. Meskipun di rumah terkadang saya sering berbicara dalam bahasa Betawi, tapi tidak ada yang menanggapi karena pada dasarnya semua anggota keluarga saya kalau tidak berbahasa Minang, yaaa... berbahasa Melayu.
Bagaimana tidak jadi fasih ?, hampir semua teman dan tetangga saya orang Betawi. Sehari-hari berbahasa Betawi. Hanya di rumah dan di sekolah saja yang tidak berbahasa Betawi. Kalau di rumah, saya berbahasa daerah asal keluarga saya. Sedangkan di sekolah berbahasa Indonesia atau bahasa Jakarta.
Setelah lulus sekolah menengah, saya meninggalkan kota Jakarta dan merantau ke Cirebon, Jawa Barat. Dengan kota udang sebagai pangkalan, saya menjelajahi wilayah seputaran pantura, hingga ke Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pedagang keliling.
Karena teman-teman dan lingkungan pergaulan saya saat itu adalah lingkungan orang Sunda dan orang Jawa, otomatis saya pun jadi menguasai kedua bahasa itu, karena kedua bahasa itulah yang dipakai dalam kesehariannya. Sedangkan bahasa Betawi, bisa dibilang tidak pernah saya pakai.
Begitupun halnya ketika saya pindah rantau dari Jawa ke kota yang hingga kini saya diami. Kefasihan berbahasa Betawi saya kian tidak ada gunanya karena di kota yang memiliki julukan kota Bertuah ini bahasa sehari-hari yang dominan dipergunakan adalah bahasa Minang / Padang atau bahasa Indonesia dan sesekali diselingi bahasa Melayu.
Alhasil, kerinduan saya untuk menuturkan kembali bahasa Betawi, hanya bisa terpendam dalam hati. Belasan tahun tinggal dan beranak-pinak kota Bertuah ini, belum pernah satu kalipun saya bertemu dengan orang Betawi atau orang yang berbicara bahasa Betawi !.
Sampai beberapa waktu yang lalu, kerinduan saya akhirnya terjawab.
Suatu hari, seperti biasanya setiap kali hari Jum'at datang, saya dan rekan-rekan lainnya melaksanakan ibadah Sholat Jum'at di masjid yang terletak bersebelahan dengan komplek perkantoran. Semula tidak ada yang aneh atau tidak biasa pada pelaksanaan sholat Jum'at kali ini, kecuali saya lihat yang bertindak sebagai Mu'adzin adalah orang baru.
Orangnya masih muda dan bacaan adzannya cukup merdu dan enak di dengar. Dari gerak gerik dan kesibukannya, saya duga dia adalah ghorim baru pengganti ghorim lama yang kabarnya berhenti karena ingin menetap di kampung halamannya. Dan begitu saya tanya kepada salah seorang pengurus masjid yang duduk bersebelahan, ternyata dugaan saya tidak meleset. Dia memang ghorim baru.
Pertemuan kedua saya dengannya terjadi ba'da sholat Ashar hari itu juga. Usai sholat yang saya tunaikan agak terlambat karena kesibukan kerja, saya lihat ghorim baru itu sedang mengobrol di teras masjid dengan seorang anggota pengurus. Semula saya sama sekali tidak ambil perhatian kepada dia. Tapi telinga saya seperti meruncing ketika mendengar logat bicara yang dia ucapkan.
Logat bicaranya adalah logat yang dahulu sangat saya kenal dan amat akrab di telinga saya. Yaa... tidak salah lagi, logat bicaranya adalah logat yang menjadi ciri khas cara bicara orang-orang Betawi !.
Saya berhenti sejenak untuk menyimak pembicaraan dia dan pengurus masjid. Maksud hati ingin berlama-lama mendengar logat bicaranya, tapi bayangan banyaknya pekerjaan yang menumpuk membuat saya menahan diri dan terpaksa bergegas kembali ke kantor.
Malamnya, saya memberitahu orang rumah perihal ghorim baru tersebut.
"Dek, tadi siang abang melihat ghorim baru di masjid dekat kantor."
"Oh, yaa... memangnya kenapa ?," tanya orang rumah acuh tak acuh.
"Sepertinya dia orang Betawi," jawab saya.
Kali ini orang rumah menoleh sambil tersenyum kecil dan berkata,
"Jadi... sekarang abang bakal punya teman ngobrol, dong..."
Yahhh, memang tidak salah orang rumah saya berkomentar seperti itu. Dia sangat mengerti kerinduan saya untuk mengobrol dengan seseorang dalam bahasa Betawi. Meskipun di rumah terkadang saya sering berbicara dalam bahasa Betawi, tapi tidak ada yang menanggapi karena pada dasarnya semua anggota keluarga saya kalau tidak berbahasa Minang, yaaa... berbahasa Melayu.
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.
0Komentar
Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)