Jihadun Nafsi
Begitu mendengar kata "jihad" orang kerap kali langsung saja mengasosiasikannya dengan aksi peperangan yang semata bersifat fisik : kekerasan, pembunuhan, pembantaian, mobilisasi pasukan, dan serangan terhadap musuh.Padahal, dalam Islam jihad dalam pengertian demikian bukanlah yang utama alias tidak menempati level tertinggi. Aktivitasnya pun hanya diizinkan dalam kondisi darurat atau sangat mendesak. Dimana umat Islam dalam kondisi terancam dibunuh atau dimusnahkan.
Lalu di manakah letak jihad melawan hawa nafsu (jihadun nafsi) yang disebut Rasulullah Saw. sebagai jihad paling agung; jihad yang gejolaknya kita rasakan hampir setiap detik ?. Saatnya kita merenungi diri.
Diceritakan pada zaman Rasulullah Saw. di sela-sela perang Khandaq. Saat itu kaum muslimin yang masih minoritas di jazirah Arab, ditantang duel oleh Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi pun bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang sanggup memenuhi tantangan itu ?.
Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib (karramaLlâhu wajhah) maju, menyanggupi ajakan duel Amr bin Abd Wad. Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat. Hingga tiga kali, tetapi hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu.
Menyaksikan yang menghadapinya Ali yang ia anggap hanya seorang "bocah", Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Sayyidina Ali tak terpengaruh dengan dengan ledekan tersebut. Perkelahian berlangsung sengit, dan nasib mujur pun ternyata ada di tangan Sayyidina Ali.
Amr bin Abd Wad tumbang ke tanah setelah mendapat sabetan pedang Sayyidina Ali. kemenangan Ali sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang.
Dalam situasi terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri memberontak. Tiba-tiba ia meludahi wajah sepupu Rasulullah itu. Menanggapi hinaan ini, Ali justru semakin pasif. Ali menyingkir dan mengurungkan niat membunuh, hingga beberapa saat. Begitu Amr bin Abd Wad berhasil bangkit kembali dan kembali menyerang Ali dengan pedangnya, barulah Ali membunuhnya.
Sikap Sayyidina Ali yang tak mau balas menyerang ketika Amr meludahi wajahnya menimbulkan tanda tanya. Para sahabat yang menyaksikan peristiwa itu penasaran : apa alasan Sayyidina Ali bersikap demikian ?.
Ketika ditanya, beliau menjawab, "Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah subhânahû wata‘âlâ."
Penggalan kisah ini mengandung pelajaran mendalam tentang hakikat jihad, yang oleh sementara kelompok kadang dimaknai secara serampangan. Meskipun Amr bin Abd Wad akhirnya gugur di tangan Ali tapi proses peperangan ini memberi pesan bahwa perjuangan dan pembelaan Islam mesti dibangun dalam landasan dan etika yang melebihi sekadar luapan kebencian dan kemarahan.
Sayyidina Ali menjadikan Allah sebagai satu-satunya dasar. Komitmen ini mudah terucap tapi sangat sukar dalam praktiknya. Teriakan takbir atau pengakuan diri sebagai pemegang tauhid atau mengklaim diri sebagai pembela agama Allah belum sepenuhnya menjamin seseorang mampu bertindak tanpa terpengaruh oleh ego atau nafsu pribadinya : nafsu merasa paling suci, nafsu merasa paling benar sendiri, nafsu tak ingin tersaingi, serta nafsu membenci dan memusuhi kelompok yang tak sefaham dengannya, dll. Karena itu memang menjadi pekerjaan hati, lebih dari aktivitas fisik dan emosi.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sendiri memposisikan jihad dalam pengertian fisik sebagai jihad yang kalah tingkat dari jihad mengendalikan hawa nafsu. Sepulang dari perang Badar, Nabi pernah bersabda :
رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ
"Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya, "Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah ?. Rasul menjawab, "jihad (memerangi) hawa nafsu."
Kata "Jihad" berasal dari bahasa Arab jâhada yang berarti bersungguh-sungguh. Secara luas ia bisa bermakna lahiriyah, juga batiniyah. Tak semata identik dengan berperang atau bertempur sebagaimana lazim disalah pahami oleh kaum sumbu pendek. Islam memang memberi ruang kepada umat Islam untuk berperang secara fisik, tapi juga memiliki aturan sangat ketat terhadap aktivitas kekerasan itu terjadi.
Dalam Surat al-Baqarah ayat 190 disebutkan:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
Ayat di atas mengandung peringatan bahwa seseorang hanya boleh memerangi orang lain ketika dalam posisi membela diri, persisnya saat keselamatan diri terancam. Itu pun harus dilakukan tidak dengan cara yang membabi buta.
Tidak boleh kebencian kita kepada kelompok tertentu, apalagi hanya berdasarkan perbedaan SARA membuat kita lantas melakukan apa saja seenaknya kepada mereka. Ada etika di dalamnya. Ada batas kewajaran dan ada norma yang mesti diikuti.
Dalam situasi perang, misalnya, Islam melarang membunuh rakyat sipil, perempuan, anak-anak, dan pemuka agama. Sebagaimana dikatakan Ibnul ‘Arabi dalam Ahkamul Qur’an :
أَلاَ يُقَاتِل إِلاَّ مَنْ قَتَلَ وَهُمْ الرِجَالُ البَالِغُوْنَ، فَأَمَّا النِّسَاءُ وَاْلوِلْدَانُ وَالرَّهْبَانُ فَلَا يُقْتَلُوْنَ
"Janganlah membunuh kecuali terhadap orang yang memerangimu. Orang yang boleh dibunuh di masa perperangan adalah laki-laki dewasa. Adapun perempuan, anak-anak, dan pendeta tidak diperkenankan untuk dibunuh."
Di sinilah letak kedalaman Islam. Jihad tak hanya dimaknai sebagai perjuangan fisik tapi juga perjuangan batin. Ketika ledakan bom memakan banyak sekali korban nyawa tak berdosa, saat hantaman rudal menghasilkan ribuan mayat, yang ironisnya terkadang sering menyasar terhadap sesama kaum muslimin sendiri. Membuat kita patut merenung bahwa betapa banyak mudharat yang ditimbulkan tatkala jihad diterjemahkan secara salah dan sepotong-sepotong. Jihad fisik yang berhasrat memenangkan kelompoknya sendiri tapi secara tak sadar membuat diri pelakunya kalah dari egonya sendiri.
Sungguh menghadapi nafsu diri sendiri yang tak tampak lebih berat ketimbang menghadapi musuh di depan mata yang terlihat. Jihad ini juga tak mengandaikan waktu-waktu khusus, melainkan setiap hembusan napas, sepanjang masa. Benarlah Rasulullah mengatakan perang melawan diri sendiri sebagai pertempuran akbar karena dalam banyak hal jihad yang dilakukan secara keliru itu tak terasa salah karena sering kali ia dibalut oleh kenikmatan, atau bahkan argumentasi membela agama Allah. Padahal hakikat jihad adalah fî sabîliLlâh, bukan fî sabîlil hawâ.
***
Penulis : Khairul Azzam Elmaliky.Gz (Gus Azzam)
Editor : Hendra Gunawan
Artikel ini saduran dari Khutbah Jum'at Gus Azzam yang materinya merupakan intisari dari Kitab Teberubut (Kitab Kunci Pembuka Pintu Rahasia Ilmu Makrifatullah). Sebuah kitab yang hanya boleh dipegang oleh yang berhak dan tidak sembarang orang boleh memegangnya. Kitab ini merupakan induk segala permasalahan yang ada di dunia yang mencerabut hingga ke akar-akarnya.
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.
0Komentar
Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)