Hikmah Ramadhan (1)

ramadhan mubarak
Ramadhan telah tiba. Bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan ini kembali mendatangi kita. Namun sebagaimana beragamnya sifat dan tabiat manusia, beragam pula cara kita dalam menyambut kedatangan bulan suci nan mulia ini.

Ada yang bergembira dan mempersiapkan diri sepenuhnya dalam menyambutnya. Ada yanng bersikap biasa-biasa saja seakan-akan bulan Ramadhan ini tak lebih bebeda dengan bulan-bulan lainnya kecuali tidak boleh makan dan minum disiang hari.

Ada yang sebaliknya justru bersusah hati akibat kedatangannya karena telah terbayang kesulitan-kesulitan yang akan menyertainya seperti tidak boleh makan dan minum disiang hari atau membengkaknya pengeluaran rutin baik untuk keperluan berbuka puasa dan sahur atau untuk keperluan persiapan lebaran atau keperluan ini itu yang lainnya.

Oleh karena itu, untuk menghindari degradasi nilai puasa kita dan terjebak pada puasa "rutinitas" atau ibadah puasa yang dilakukan hanya karena kebiasaan. Puasa yang dilakukan karena "harus". Karena itu "hanya" sebuah perintah agama, maka wajib hukumnya bagi kita untuk mengetahui ilmu tentang puasa. Kenapa harus tahu ilmunya?. Karena kalau kita mengerjakan sesuatu tanpa tahu ilmunya, maka pekerjaan kita tidak ada nilainya dan tidak diterima oleh Allah SWT. sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:

"Barang siapa yang beramal tidak mengikuti perintah kami, maka akan ditolak." (HR Muslim dari Abu Hurairah ra)

Imam Syafii berkata, "Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya akan ditolak sia-sia."

Imam Ghazali berkata: "Ilmu tanpa amal adalah gila dan pada masa yang sama, amalan tanpa ilmu merupakan suatu amalan yang tidak akan berlaku dan sia- sia."

Dalam kitab Zubad karangan Ibn Ruslan dikatakan: "Setiap orang yang mengamalkan sesuatu tanpa ilmu maka amalnya ditolak, tidak diterima. Itu namanya amal-amalan, bukan amal yang sesungguhnya."

Jelas sekali, bukan?.

Berikut kami hadirkan secara ringkas "ilmu" tentang puasa/bulan Ramadhan yang kami format dalam bentuk tanya jawab agar lebih mudah dibaca dan difahami.

Bagaimanakah kedudukan puasa di sisi Allah SWT?


Diantara ibadah-ibadah yang ditetapkan oleh Allah SWT, maka ibadah puasa menempati kedudukan yang teramat istimewa. Keistimewaannya antara lain : Jika ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, zakat, haji, sedekah, tadarus Al Qu'ran bisa ditentukan pahalanya sekian, dilipat gandakan sekian maka untuk puasa kita tidak tahu berapa karena hanya Allah SWT sendirilah yg menentukan kadar pahalanya !.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

"Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), "Kecuali amalan puasa". Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi." (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena ibadah puasa itu milik Allah maka meninggalkannya dengan sengaja hukumannyapun amat berat.

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Barang siapa yg tidak berpuasa sehari tanpa rukhsah (alasan yg dibenarkan) atau sakit, maka (puasa yg ditinggalkannya itu) TIDAK DAPAT DIGANTI dengan berpuasa seumur hidup meskipun dia (mampu) melakukannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ket : Yang dimaksud dengan rukshah ialah uzur yaitu keadaan-keadaan khusus yang membuat seseorang diidzinkan tidak berpuasa seperti : musafir, berperang di jalan Allah, haid dan nifas (bagi wanita), lansia yang sudah pikun atau sakit-sakitan.

Yang manakah do'a berbuka puasa yang benar?


Ada dua macam do'a berbuka puasa yang lazim dilafalkan oleh kaum Muslimin ketika berbuka puasa. Pertama:


اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa 'ala ridzqika afthortu.

"Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman dan atas rizki-Mu aku berbuka."

Tahukan Anda bahwa do;'a berbuka puasa yang termasyhur ini ternyata bersumber dari hadist dho'if (lemah)!. Padahal Rasulullah SAW telah melarang keras kita mendasarkan amalan kepada hadist-hadits dho'if !.

Riwayat di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya no. 2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38)

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38). Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45)

Kemudian do'a berbuka puasa kedua :


ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dzahabazh zhoma'u wab talatil 'uruuqu wa tsabatal ajru, insya Allah.

"Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala, insya Allah." (HR. Abu Daud, Ad-Daruquthni, Al-Bazzar, Al-Baihaqi dari Ibnu Umar RA. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Meskipun kalah termasyhur dari do'a berbuka puasa pertama, ternyata inilah do'a berbuka puasa yang benar. Oleh karena itu seyogyanyalah mulai kini kita meninggalkan amalan yang bersumber dari hadits dho'if dan berpegang kepada yang shahih/hasan.

Apakah hukumnya berlebih-lebihan dalam menyiapkan hidangan berbuka puasa?. Apakah hal tersebut dapat mengurangi pahala puasa?


Jawabannya adalah Tidak. Hal tersebut tidak mengurangi pahala puasa. Tetapi sebaliknya hal itu adalah perbuatan haram yang dilarang Allah berdasarkan firman-Nya dalam Al Qur'an :


 يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A’raf : 31)


Pengertian dalam perkara ini ialah : Perbuatan berlebih-lebihan dalam menyiapkan hidangan berbuka puasa dasar hukumnya terlarang atau berdosa, namun hal tersebut tidak mengurangi pahala puasa karena perbuatan haram setelah selesai berpuasa tidak mengurangi pahala puasa itu sendiri. Yang terbaik ialah sederhana atau secukupnya dalam menyiapkan hidangan berbuka untuk menghindari dosa akibat perbuatan berlebih-lebihan.


Sumber : Fatwa-fatwa As-Syaikh Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin dalam kitab Majmu'ah Asyrithati Fiqhil 'Ibadaat

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar

0Komentar