Memaknai Ikhlas

tetes air
Kita sering berspekulasi bahwa ikhlas adalah menerima ketika melakukan sedekah atau beramal. Tapi ternyata kita malah diam-diam ingin dipuji karena telah menyumbang sekian puluh juta untuk pembangunan sebuah masjid atau pesantren alias riya’.

Kita sering berpendapat bahwa ikhlas adalah legowo ketika memberikan suatu barang atau uang kepada seseorang, baik teman, saudara atau orang lain. Tapi ternyata kita sering ucingan dan mengungkit-ngungkit pemberian kita di hadapan orang yang kita beri.

Kita sering berpikiran bahwa ikhlas adalah perasaan plong ketika memberikan sebuah pertolongan kepada yang lebih membutuhkan sehingga kita dengan mudah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Tapi ternyata kita sering tidak terima ketika kita kalah dalam sebuah pemilihan umum, baik dalam pemilihan calon legislatif, walikota, gubernur, atau presiden hingga berujung di Mahkamah Konstitusi.

Dan kita beropini bahwa ikhlas adalah merelakan ketika salah satu dari keluarga kita meninggal dunia sehingga kita membaca yang namanya doa Istirja' (innalillahi wa innailaihi roji'un). Tapi ternyata kita sering menangis berlebihan bahkan meraung-raung kita ada keluarga, sanak famili kita yang meninggal dunia.

Jadi, apa sebenarnya makna dari ikhlas itu?.

Para nabi, sejak zamannya nabi Adam As hingga nabi Muhammad Saw. telah mencontohkan secara gamblang apa itu ikhlas. Misalkan, bagaimana ketika nabi Nuh As yang diutus oleh Allah Swt untuk menyerukan agama Islam kepada kaumnya yang pembangkang yang dikenal dengan nama bani Rasib. Saat itu nabi Nuh As yang telah berputus asa atas pembangkangan kaumnya yang begitu bandel, memohon kepada Allah Swt agar ditimpakan azab yang pedih. Doanya nabi Nuh As dikabulkan oleh Allah Swt. Maka, Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Nuh As agar membuat sebuah kapal yang besar.

Sejak diperintahkannya itu nabi Nuh As mencari kayu dengan dibantu oleh umatnya yang hanya berjumlah tidak kurang dari 80 orang. Coba bayangkan, nabi Nuh As yang telah berdakwah menyerukan Tauhid atau agama yang meng-Esakan Allah selama 500 tahun, mendapat pengikut berjumlah hanya 80 orang saja!. Sungguh getir perjuangan dakwah beliau.

Dengan bantuan pengikutnya yang berjumlah 80 orang itu, nabi Nuh As mulai mencari kayu balok untuk membuat sebuah kapal (bahtera). Setelah itu beliau membangun sebuah perahu di tengah gurun pasir yang tandus. Satu per satu hinaan, caci-maki, kebencian, dan kata-kata kotor mulai berhamburan dari mulut kaum nabi Nuh As yang pembangkang. Bahkan kotoran manusia alias tahi pun dilemparkan ke atas dek kapal Nabi Nuh yang masih setengah jadi.

Tapi bagaimana reaksi nabi Nuh As?. Apakah beliau lantas muring-muring seperti kelakuan kebanyakan ulama zaman now?. Apakah beliau protes hingga mengajak berkelahi orang-orang yang menghinanya?. Apakah beliau balik ngumpat-ngumpat dan mengutuk orang-orang yang menghinanya?.

Sama sekali tidak.

Tetapi beliau justru mengucapkan Alhamdulillah dan Isti’adzah. Aneh memang. Mana ada seorang nabi dan rasul yang dihina, dicaci-maki, dan dibenci bahkan dilempari tahi manusia mengucapkan Alhamdulillah?. Mau saja dihina, mau diinjak-injak oleh orang yang derajatnya rendah, Mau saja dibenci oleh orang bodoh yang samasekali tidak memahami ajaran agama. Orang-orang yang tidak pandai membaca kitab?.

Kedua, simak pula bagaimana kisahnya nabi Ibrahim As. Beliau disebut-sebut sebagai Bapak dari Agama Tauhid. Tapi menurut Kitab Barencong maupun Kitab Teberubut yang penulis pelajari, Bapak Agama Tauhid adalah nabi Nuh As. Sebelum nabi Ibrahim As. beragama, beliau terlebih dulu mencari yang namanya Tuhan. Berbeda dengan kita yang terlebih dulu beragama sebelum mencari dan mengenal Tuhan. Sehingga kita boleh dikatakan beribadah dulu tanpa mengenal-Nya ketimbang mengenal-Nya lalu beribadah kepada-Nya.

Ketika mencari yang namanya Tuhan, nabi Ibrahim As mengawalinya dengan mengamati alam sekitarnya. Mulai dari melihat Matahari terang benderang. Beliau merenung, "Apakah ini Tuhanku?". Namun ketika melihat matahari yang perkasa itu tenggelam di ufuk Barat, beliau berkata,"Aku tidak suka kepada Tuhan yang tenggelam".

Kemudian, beliau melihat Bulan yang bersinar terang namun lembut, beliau merenung lagi,"Inikah Tuhanku?". Kemudian ketika melihat bulan yang bersinar itu hilang, beliau berkata lagi,"Aku tidak suka terhadap Tuhan yang menghilang". Setelah itu beliau melihat bintang-bintang yang berkelap-kelip menghiasi langit malam, beliau berkata lagi,"Inikah Tuhanku?". Namun, ketika melihat bintang-bintang itu juga tenggelam, beliau berkesimpulan "Tuhanku seharusnya bukan Dzat yang bisa hilang atau tenggelam. Tuhanku seharusnya adalah Dzat yang menciptakan alam raya beserta isinya. Dan aku berlindung agar aku tidak termasuk orang-orang yang tersesat."

Dalam bahasa lain, "Allahumma ihdinash shirathal mustaqim, ihdinas shirathal mustaqim, shirathalladzinaa an’amta ‘alaihim, ghairil maghdzu bi ‘alaihim wa ladhdhalliin.", yang sering kita baca ketika sedang mendirikan shalat yang lima waktu. "Tunjukkan kepadaku jalan yang lurus. Tunjukkan kepadaku jalan yang lurus." Bukannya meminta atau berdoa agar naik jabatan, naik pangkat, minta harta, minta kekayaan, minta naik kelas, minta lulus ujian, minta agar diterima di sebuah PTN atau UIN, dan apa saja yang kesemuanya bersifat DUNIAWI.

Kebanyakan dari kita ketika sedang berdoa setelah selesai shalat, yang kita minta adalah urusan-urusan DUNIA. Apakah kita tidak malu mengemis kepada Allah Swt, meminta kepada Allah Swt, dan menangis kepada Allah Swt sementara kita belum mengenal Allah Swt?. Kita akan ditertawakan oleh para malaikat. Jangankan malaikat, dinding-dinding musalla, bangku-bangku mushaf, dan semua benda (yang kita kira mati) atau seekor kucingpun akan menertawakan kita. Kita seharusnya meminta agar diberi petunjuk jalan yang lurus bukan jalan yang sesat.

Lalu setelah nabi Ibrahim As mengenal diri dan mengenal Allah Swt, maka Allah Swt memberinya agama yaitu Agama Tauhid, Islam. Allah Swt pun memerintahkan kepada beliau agar menyerukan agama Tauhid, agama Mengenal Diri dan Mengenal Allah Swt.

Sayangnya, kaumnya nabi Ibrahim As yang sebelumnya menganut agama Nabi Nuh As namun kemudian membangkang menolak ajaran abi Ibrahim As. Mereka lebih takut dan tunduk patuh terhadap perintah Raja Namrud yang memberikan hukuman mati kepada Nabi Ibrahim As setelah sebelumnya beliau dihina, dimaki dan direndahkan dengan kata-kata sok jagolah, sok pintar, sok alim di depan umum, yaitu dengan cara dilemparkan ke dalam api unggun yang besar. Tapi atas pertolongan Allah Swt, Nabi Ibrahim As samasekali tidak hangus.

Kemudian, Nabi Ibrahim As berseru kepada Bapaknya, Azar. Bagaimana responsnya Azar?. Jelas sekali Azar mencak-mencak. Karena Azar merasa lebih tua dan lebih berilmu daripada Nabi Ibrahim As. Nabi Ibrahim As pun diusir dari kampungnya. Tapi beliau samasekali tidak bersedih apalagi menangis. Beliau justru berdoa, Allahumma ihdinas shirathal mustaqim. Tunjukkan kepadaku jalan yang lurus.

Ketiga, dalam Sejarah Islam kita tahu bagaimana kisahnya Nabi Musa As. Ketika Raja Fir'aun mendapat ilham dari seorang peramal bahwa akan lahir seorang anak laki-laki dari kalangan Bani Israil (keturunan Nabi Ishaq As) yang kelak akan menghancurkan kekuasaannya. Maka Fira'un pun memerintahkan kepada pasukannya agar mencari dan membunuh semua anak laki-laki dari kalangan bani Israil yang lahir.

Maka para prajurit Fira'un membunuh semua anak laki-laki yang masih bayi itu di tiap-tiap pelosok desa. Tapi Allah yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim menolong dan mentakdirkan Nabi Musa As hanyut di aliran sungai Nil. Dan atas pertolongan Allah Swt pula, akhirnya Nabi Musa As ditolong oleh Siti Asiyah binti Muzahim yang masih setia menjadi penganut agama Tauhid (Nabi Ibrahim-Syuaib).

Nabi Musa As dalam asuhan Siti Asiyah pun dibesarkan di dalam lingkungan Istana Raja Fira'un. Beliau diajarkan cara kepemimpinan, kebendaharaan, dan politik secara langsung dari Raja Fira'un hingga sampailah beliau diangkat menjadi seorang Nabi sekaligus rasul oleh Allah Swt.

Pertama, beliau berdakwah di kalangan keluarga angkatnya. Mulai dari Fira'un hingga para pejabat Istana. Namun, yang mengikuti seruannya hanyalah istri Fira'un, Siti Asiyah binti Muzahim, Masyithah (pembantu Firaun), suami Masyithah (prajurit Firaun) dan para ahli Nujumnya Firaun.

Sementara Fira'un dengan sombong, angkuh, takabbur, dan sum'ahnya (karena merasa dirinya lebih kuasa, lebih pandai, lebih pintar, lebih berilmu dan lebih segalanya) menghina,mencaci-maki, merendahkan Nabi Musa As bahkan dengan sombongnya mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.

Tapi Nabi Musa As yang telah mengenal Allah Swt dan mengenal dirinya (yang sebenarnya diri) justru mengulum senyum dan mengakui bahwa dirinya memang manusia yang hina. Nabi Musa As yang seorang Nabi dan Rasul mengakui bahwa dirinya memang bodoh. Sebab kenapa?. Nanti kita bahas lebih lanjut.

Akhirnya Fira'un dan bala tentaranya mengejar Nabi Musa As dan pengikutnya hingga ke tepi Laut Merah. Namun dengan izin Allah Swt, Laut Merah terbelah akibat pukulan tongkat Nabi Musa As memberi jalan bagi Nabi Musa As dan pengikutnya untuk menyeberanginya. Malang bagi Fir'aun dan bala tentaranya yang berusaha menyusul Nabi Musa As, mereka semua tenggelam di Laut merah yang menutup kembali begitu Nabi Musa As sampai diseberang.

Nabi Musa mulai berdakwah di Palestina. Dan di sanalah lahir seorang nabi dan rasul yang lahir dari seorang wanita bernama Siti Maryam binti Imran yang terkenal dengan khalwat(tafakkur)-nya di dalam mihrab Masjidil Aqsha.

Keempat, Nabi Isa lahir tanpa perantaraan sebuah pernikahan seperti pada umumnya. Ibunya adalah seorang wanita suci yang begitu teguh menjaga kesucian dan kebersihan jiwanya. Beliau tercipta dari sebuah cahaya dan ruh Allah Swt melalui perantaraan Malaikat Jibril As yang saat itu menjelma sebagai seorang pemuda yang salih.

Setelah itu di dalam rahim suci penuh cahaya Maryam, hiduplah janin Nabi Isa As yang dikemudian hari ketika masih bayi dapat berbicara kepada kaum pembangkang, Bani Israil yang telah meninggalkan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Musa As. Allah Swt mengutus Nabi Isa As dengan membawa ajaran agama Tauhid yaitu agama tentang mengenal Allah Swt, meng-Esakan Allah Swt, yang dalam bahasa Jawanya dikenal dengan istilah Manunggaling kawulo Gusti (ajaran Suluk Sunan Lemah Abang, Syekh Siti Jenar).

Manunggaling kawulo Gusti disini bukan berarti Allah Swt dapat menjadi makhluk, dan sebaliknya makhluk menyerupai Allah Swt. Hal ini banyak yang terdistorsi. Banyak yang berpendapat bahwa Manunggaling kawulo Gusti artinya sifat Allah Swt menyerupai makhluk, dan makhluk menyerupai sifat Allah Swt. Padahal bukan.

Manunggaling kawulo Gusti dalam Kitab Barencong, adalah mengenal Allah dan mengenal diri (yang sebenarnya diri kita). Maksudnya, "man arafa nafsahu, faqadz 'arafa rabbahu," (barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya). Menghadirkan sifat Allah Swt dalam diri makhluk.

Di dalam kehidupan, kita mungkin pernah menghina, membenci, merendahkan, dan mengata-ngatai sesama manusia dengan kata-kata, sok pintar, sok jago, sok alim, sok kaya, sok kuasa, anjing, babi, sombong, dan lain sebagainya tanpa kita sedari. Nah, seandainya kita mengenal diri kita yang sebenarnya, mungkin kita akan melihat diri kita di depan cermin. Begini, seandainya kita berdiri di depan cermin dengan megeluarkan kata-kata di atas, siapa yang kita hina, kita benci, dan kita rendahkan?. Tentu yang ada di depan cermin adalah bayangan kita bukan?.

Contohnya, seumpamanya kita adalah seorang guru mengata-ngatai sok pintar dan sok alim kepada murid kita, dan kita tidak tahu bahwa ruh kita dan ruh murid kita sama, nurnya pun sama, dan penciptanya pun sama: Allah swt. Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku: Allah Swt. Kita ibarat berdiri di depan cermin. Kepada siapa kita menghina, merendahkan,dan berlaku sombong, riya' dan takabbur?. Tentu kepada diri kita sendiri.

Tapi berhubung kita belum mengenal diri dan mengenal Allah Swt, kita dengan seenaknya menghina, merendahkan dan membenci orang lain. Sebaliknya, kalau kita sudah mengenal diri kita yang sebenarnya dan mengenal Allah Swt, maka kita akan berada di jalan lurus milik para nabi dan rasul.

Itulah kenapa para nabi dan rasul seperti nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa dan nabi Isa yang tetap bersabar meski dibenci, dihina, dicaci-maki, dan direndahkan serta dikata-katai oleh para penentangnya. Karena yang mereka lihat adalah ALLAH SWT, yang menghina mereka adalah ALLAH SWT, yang mencaci-maki mereka adalah ALLAH SWT, yang mengatai-ngatai mereka adalah ALLAH SWT, dan yang merendahkan mereka adalah ALLAH SWT, dan mereka tidak mengutamakan NAFSU.

Maka ketika mereka dihina, dicaci-maki, direndahkan dan dibenci bahkan dimusuhi, mereka bukannya marah seperti ulama atau orang biasa zaman now yang mudah emosi dan marah (lebih mengutamakan nafsu ketimbang Allah Swt), mereka justru mengulum senyum dan mengucapkan Alhamdulillah. Mereka ikhlas ketika dihina. Mereka ikhlas ketika dicaci-maki. Mereka ikhlas ketika dibenci. Mereka ikhlas ketika dimusuhi.

Bahkan Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan kepada kita bagaimana ketika beliau diusir dari kampung halaman dan keluarganya sendiri, Makkah dan Bani Hasyim, tentang yang namanya Keikhlasan. Lalu bagaimana ketika Beliau Saw. berdakwah di Thaif, beliau bukannya diterima malah dilempari batu hingga pelipisnya berdarah dan giginya copot. Namun beliau bukannya marah justru beliau ikhlas dan menerima.

Kenapa?. Karena yang mengusir dan melempari batu kepada beliau adalah ALLAH SWT.

Sangat jauh berbeda dengan kita yang mudah marah ketika diusik, dihina dan dibenci oleh orang lain. Sudah pasti kita muring-muring dan mengutuk si penghina bahkan terkadang yang melakukan itu adalah seorang yang digelari ulama. Lucu sekali memang. Seorang ulama bukankah seharusnya mengucapkan Alhamdulillah dan Isti’adzah, serta mencontoh jalan yang dilalui oleh para Nabi di atas. Kalau tidak, tentu saja ia tak lain hanyalah seorang ulama abal-abal alias penipu berjubah agama.

Maka pada akhirnya, kita sudah memahami apa yang disebut dengan ikhlas. Ikhlas bukan berarti ikhlas bersedekah, ikhlas membayar zakat, ikhlas kehilangan orang yang kita cintai, ikhlas ketika memberi sebuah pertolongan kepada orang yang lebih membutuhkan, atau ikhlas-ikhlas yang lainnya.

Ikhlas juga tidak boleh disalah kaprahi atau diartikan dengan seenaknya dengkulnya. Contohnya baru-baru ini ketika ada penipuan berkedok umroh terbongkar, sangat lucu dan memalukan ketika ada yang berkata agar peristiwa itu diikhlaskan saja. Lantas dimana letak keadilan dan apa gunanya ada hukum?.

Intinya, ikhlas adalah menerima dengan tabah dan sabar ketika dihina, dicaci-maki, dibenci, direndahkan dan dimusuhi oleh orang lain tanpa menyisakan rasa dendam, sakit hati, dan dengki atau sampai tidak bertegur sapa, sebab tanpa kita ketahui bahwa sebenarnya (di balik) orang yang menghina kita, Allah Swt-lah yang menghina kita.

Dan seandainya kita tahu, mungkin kita akan tersenyum dan mengatakan, Alhamdulillah. Betul, Ya Allah. Hamba benar-benar hina. Hamba memang patut dihina. Hamba memang bodoh. Dan kiranya kita selalu berdoa, Allahumma ihdinas shirathal mustaqim, Allahumma ihdinas shirathal mustaqim, shirathalladzina an'amta alaihim, ghairil maghdzu bi 'alaihim wa ladzdzalliin. Itulah sunnah dan jalan para Nabi.



***


Penulis  : Khairul Azzam El Maliky
Editor    : Hendra Gunawan
Sumber : Tafsir Kitab Riyadlus Shalihin, karya Imam Nawawi. Ditulis untuk UIN Sultan Syarif Kasim II, Panam, Pekanbaru-Riau. Jurusan Filsafat/Theologi Islam/Ilmu Ushuluddin.


fotoKhairul Azzam El Maliky : Penulis adalah Novelis. Pernah menempuh dan menyelesaikan pendidikannya di Kota Malang dan Pekanbaru. Kini selain sibuk merampungkan novelnya, penulis mengajar Mapel Akidah Akhlak di MTs.Raudlatul Muta’allimien, Probolinggo. Penulis adalah kontributor tetap untuk blog ini. Khairul Azaam dapat dihubungi via emai di bahterawrittingschool@yahoo.co.id, serta akun Facebooknya : disini

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar

0Komentar