Hari Raya Sebagai Perjalanan Jiwa Menemui Allah

bulan dan bintang
Puasa Syariat adalah menahan diri dari makan dan minum, dan dari berhubungan suami isteri di siang hari. Sedangkan Puasa Thoriqoh itu, mengekang seluruh tubuhnya dari hal-hal yang diharamkan, dilarang dan dicela, seperti ujub, takabur, bakhil dan sebagainya secara lahir maupun batin. Karena semua itu bisa membatalkan puasa thoriqoh.

Puasa syariat itu ada batas waktunya, dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Sedangkan Puasa thoriqoh abadi tak terbatas waktu alias dijalankan seumur hidup. Itulah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw:

"Betapa banyak orang berpuasa tetapi puasanya tidak lebih melainkan hanya rasa haus dan lapar…" (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Karena itu disebutkan, berapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan berapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti manusia secara fisik, seperti firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy:

"Puasa itu untuk Ku dan Aku sendiri yang membalas pahala puasa." (HR. Bukhori)

"Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan tatkala berjumpa dengan Rabb-nya." (HR. muttafaq ‘alaihi)

Bagi Ulama syariat dimaksud dengan berbuka adalah makan ketika matahari tenggelam di waktu maghrib, dan melihat bulan di malam Idul Fitri. Sedangkan ahli thoriqoh menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dengan Allah Ta’ala di hari qiyamat nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata.

Sedangkan Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy:

"Manusia itu rahasia-Ku dan Aku rahasianya."

Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah SWT, hingga ia tidak berpaling selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat.

Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah SWT dan bertemu dengan-Nya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat.


***

Setiap tanggal 1 Syawal seluruh umat Islam di Indonesia telah merayakan Hari Idul Fithri dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Hari Raya Idul Fitri merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses ibadah selama bulan Ramadhan dimana dalam bulan tersebut kita melakukan ibadah Shaum dengan penuh keimanan kepada Allah SWT.

Penetapan Hari Raya Idul Fitri oleh Rasulullah dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa dilaksanakan orang-orang Madinah pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:

"Jabir ra. berkata : Rasulullah SAW datang ke Madinah sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka (bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan). Maka Rasulullah SAW bertanya : "Apakah hari yang dua ini?". Penduduk Madinah menjawab : "Adalah kami dimasa jahiliyah bergembira ria padanya". Kemudian Rasulullah SAW bersabda : "Allah telah menukar dua hari ini dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri." (HR Abu Daud)

Berdasarkan hadits di atas, kita lihat betapa pentingnya keberadaan Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam oleh sebab itu penulis mencoba membahas masalah Hakikat Idul Fitri menurut pandangan Ilmu Tasawuf.

Pengertian Idul Fitri

Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fitri dengan arti "kembali menjadi suci". Pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasulullah SAW:

"Barangsiapa yang melaksanakan ibadah Shaum selama satu bulan penuh dengan penuh keimanan kepada Allah maka apabila ia memasuki Idul Fitri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya." (HR Bukhari)

Menurut penulis, pendapat yang mengartikan Idul Fitri dengan "kembali menjadi suci" tidak sepenuhnya benar karena kata "Fithri" apabila diartikan dengan "Suci" tidaklah tepat. Sebab kata "Suci" dalam bahasa Arabnya adalah "Al Qudus" atau "Subhana". Jadi menurut penulis istilah Idul Fitri dapat diartikan sebagai berikut : kata "Id" berarti "kembali" sedangkan kata "Fitri" berarti "Pencipta" atau "Ciptaan". Dalam bahasa Arab akar kata Fitri berasal dari kata Al Fathir yang bisa berubah menjadi kata Al Fithrah, Al Fathrah atau Al Futhura, sebagai contoh lihat ayat di bawah ini:

"Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. Al Faathir :1)

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa kata "Idul Fitri" mempunyai minimal dua pengertian yaitu :


  1. Kembali ke Pencipta
  2. Kembali ke awal Penciptaan

Dua pengertian Idul Fitri yang dikemukakan oleh penulis seperti tersebut di atas mungkin sangat asing dan juga mengherankan para pembaca. Oleh sebab itu penulis akan mencoba menjelaskan masalah tersebut berdasarkan ayat-ayat dalam Al Qur'an.

Idul Fitri Sebagai Proses Ke awal Penciptaan

Menurut ahli tasawuf hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu bangunan jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui 7 proses kejadian yaitu : Pertama: Sari pati tanah, Kedua: Nutfah,Ketiga: Segumpal darah. Keempat: Segumpal daging. Kelima: Pertumbuhan tulang belulang. Keenam: Pembungkusan tulang belulang dengan daging. Ketujuh: Peniupan Roh ke dalam janin. Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur'an:

"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dari segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging". (QS. Al Mu'minun : 12 – 14)

"Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur". (QS. As Sajadah : 9)

Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir atau diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang mendapat tiupan Roh dari Allah SWT.

Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi seorang bayi dalam kandungan dan juga keadaan serta ciri-ciri dari bayi tersebut seperti yang dapat dilihat pada gambar dibawah.

perkembangan janin
Fase Perkembangan Janin

Berdasarkan gambar-gambar tersebut dapat kita amati dan kita ketahui keadaan seorang bayi dalam kandungan yaitu:


  1. Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (Amnion water atau kakang kawah). Karena seorang bayi berada dalam air ketuban maka sembilan lubang yang ada pada jasmamaninya secara otomatis tertutup dan tidak berfungsi. Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, satu lubang kelamin.
    Tetapi ada satu lubang yang ke sepuluh justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam bahsa Jawa tali plasenta tersebut dinamakan adik ari-ari.
  2. Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada seorang bayi dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi dengan kata lain bayi pada saat itu tidak bias melihat, mendengar, berkata-kata, bernafas, serta tidak bias buang air besar maupun air kecil. Tetapi rohani bayi tersebut pada saat itu sudah befungsi sifat ma’aninya.
  3. Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam kandungan rahim ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.

Di dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika Roh ditiupkan ke dalam janin bayi, ia telah berjanji kepada Allah SWT. Janji ini dalam bahasa agama disebut Syahadat Awal.

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiawa mereka seraya berfirman : "Bukankah Aku ini Tuhanmu?". Mereka menjawab : "Benar, kami menyaksikan bahwa Engkau Tuhan kami." (QS. Al A'raaf : 172)

12

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar

0Komentar