Tiga pasang Cagub dan Cawagup DKI Jakarta resmi akan berlaga setelah kemarin Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto mengumumkan jagoannya dengan menunjuk Anies Baswedan (Mantan Mendikbud) dan Sandiaga Uno sebagai Cagub dan Cawagub dari partai Gerindra dan PKS.
Sehari sebelumnya koalisi empat partai pimpinan Partai Demokrat yaitu PKB, PPP, dan PAN telah memunculkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni sebagai Cagub dan Wacagub koalisi empat partaii yang lebih dikenal dengan nama Poros Cikeas, menyaingi Poros Teuku Umar pimpinan PDI-P serta Poros Kertanegara yang beranggotakan partai Gerindra dan PKS.
Agus Harimurti sendiri tidak lain adalah putra sulung dari mantan Presiden RI ke 6 yaitu SBY.
Pemilukada DKI Jakarta kali ini benar-benar menarik. Sebab merupakan sebuah kompetisi politik antara tiga poros pimpinan partai besar. Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum PDI-P menjagokan pasangan petahana Ahok-Djarot. SBY ketua umum Partai Demokrat (rival abadi Megawati dalam Pilpres 2004) menjagokan putranya sendiri dan Prabowo Subianto menjagokan Anies Baswedan yang notabene merupakan Ketua Timses Jokowi-Ahok dalam Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur 2012.
Maka tidak salah bila ada yang menyebut Pilkada DKI 2017 ini adalah Pilkada rasa Pilpres yang ditandai dengan "turun gunungnya" suhu-suhu di bidang perpolitikan Indonesia.
Dari ketiga pasang calon tersebut, masing-masing Cagub tentu saja memiliki keunggulan dan kekurangan sendiri-sendiri. Anies Baswedan yang pernah menjabat Mendikbud dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah figur yang layak dipehitungkan dan jelas masih ada peluang untuk menjadi rival Ahok.
Jangan sampai memandang Pak Anies sebelah mata. Ia menginisiasi gerakan Indonesia Mengajar dan menjadi Rektor termuda yang pernah dilantik oleh sebuah perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2007, saat menjadi Rektor Universitas Paramadina pada usia 38 tahun.
Lalu ada Agus Harimurti Yudhoyono yang jabatan terakhirnya di TNI sebelum mengundurkan diri adalah Kepala Operasi Infanteri 17 Brigade Airbone Kostrad TNI AD. Selain muda, Mas Agus dikenal sebagai anggota TNI berprestasi. Dan sudah selayaknya Jakarta dipimpin oleh seorang pemimpin muda.
Beberapa tanda jasa dan penghargaan yang dimiliki Agus, antara lain; Satya Lencana Kesetiaan 8 tahun, Satya Lencana Dharma Nusa, Satya Lencana Santi Dharma, Medali PBB, Medali Penghargaan dari pemerintah dan Angkatan Bersenjata Lebanon, Medali Kepeloporan, serta medali penghargaan dari Angkatan Bersenjata Amerika Serikat: Distinguished Honor Graduate dan Commandant's List of the Maneuver Captain Career Course dari the US Army Maneuver Center of Excellence dan The Order of Saint Maurice dari the US National Infantry Association.
Nah, kembali kepada tema artikel ini yaitu fenomena Ahok dalam tinjauan Islam tentu saja kita serta merta langsung teringat kepada salah satu isu yang masih sangat hangat sampai hari ini yaitu perseteruan panas serta sengit antara FPI dan Ahok.
Kita mungkin masih teringat pada peristiwa menghebohkan dimana pada awal-awal masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang naik menjadi Presiden RI, FPI sempat menuntut agar Ahok tidak dilantik menjadi Gubernur, sedangkan di sisi lain Ahok tetap pada pendiriannya untuk tetap maju menjadi pengganti Jokowi yang tentu saja sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Salah satu poin krusial dari alasan FPI yang menginginkan Ahok lengser adalah persoalan status agama Ahok yang merupakan seorang non Muslim.
Dalam hal ini FPI merupakan ormas islam yang memegang teguh pendapat haramnya mengangkat seorang pemimpin non muslim. Jadi mau tidak mau, solusi yang ditawarkan oleh FPI adalah dengan menyarankan kepada pemerintah untuk tidak mengangkat Ahok sebagai Gubernur dan mengangkat pengganti lainnya yang berstatus muslim.
Hanya saja keinginan FPI itu bak menggantang asap alias cuma pepesan kosong karena tidak ada satupun dasar hukum yang bisa dijadikan pijakan untuk meluluskan keinginan mereka
Hanya saja keinginan FPI itu bak menggantang asap alias cuma pepesan kosong karena tidak ada satupun dasar hukum yang bisa dijadikan pijakan untuk meluluskan keinginan mereka. Apalagi negara ini adalah negara yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, bukan negara yang berdasarkan pada agama tertentu !. Tidak heran jika mereka lalu memilih untuk bertindak anarkis yang tentu saja malah berbalik menuai cacian serta hujatan.
Seperti yang telah ditulis diatas, salah satu poin terpenting dibalik alasan FPI yang begitu gigih ingin menjatuhkan Ahok adalah status agama Ahok yang non muslim. Inilah yang akan kita bahas kali ini dan semoga artikel ini bisa menjadi solusi serta pencerahan bagi mereka-mereka yang masih mau menggunakan otaknya, bukan cuma pintar memakai ototnya saja.
Konsep islam mengenai pengangkatan pemimpin dalam suatu negeri atau wilayah memang secara umum memang melarang untuk mengangkat pemimpin non muslim. Sebab dengan mengangkat mereka dikhawatirkan akan memberikan ruang gerak bagi mereka untuk menguasai umat islam.
Imam Al-Mawardi dalam Kitabnya, Al-Ahkam As-Sulthaniyah menyatakan : "Kepemimpinan itu diletakkan sebaga ganti kenabian dalam menjaga agama dan politik dunia, Mengangkat pemimpin dari individu yang dapat melaksanakan tujuan itu adalah wajib."
Imam Qadhi Iyadh juga menyatakan : "Ulama sepakat bahwasanya pemimpin negara yang kafir itu tidak sah. Dan kalau seorang pemimpin muslim murtad jadi kafir maka batal kepemimpinannya begitu pula kalau ia meninggalkan shalat wajib".
Namun demikian para ulama berbeda pendapat mengenai status pemimpin yang memang diwajibkan dipegang oleh seorang muslim. Apakah seluruh kepemimpinan itu harus dipegang oleh orang muslim ataukah yang dimaksud adalah pemimpin negara tertinggi seperti Khalifah, Sultan, Presiden, Perdana Mentri ataukah juga mencakup pemimpin yang menduduki jabatan-jabatan tertentu yang lebih rendah seperti Menteri, Gubernur, Bupati,Walikota dan sebagainya ?.
Nah, di sinilah terjadi perbedaan. Namun para ulama sepakat bahwa dalam sebuah negara yang mayoritaspenduduknya muslim wajib memiliki pemimpin yang muslim, dalam konteks keindonesiaan berarti Presiden Indonesia wajib seorang muslim. Perbedaan pendapat muncul ketika membicarakan kepemimpinan di bawahnya.
Khalifah Umar pernah mengangkat orang-orang non muslim dalam jajaran pemerintahannya. Begitu pula dengan Khalifah-Khalifah di masa pemerintahan bani Abbas
Apabila kita bersedia untuk merujuk pada data sejarah yang otentik, maka diketahui bahwa pengangkatan non muslim sebagai pemimpin ataupun petinggi di bawah khalifah pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khatab dan khalifah-khalifah selanjutnya. Khalifah Umar pernah mengangkat orang-orang non muslim dalam jajaran pemerintahannya. Begitu pula dengan Khalifah-Khalifah di masa pemerintahan bani Abbas juga mempercayakan jabatan-jabatan kenegaraan kepada orang yahudi dan nasrani.
Dari kenyataan sejarah ini kemudian muncullah pendapat dari para ulama, misalnya Mufti Mesir, D. Ali Jumah, yang membolehkan untuk mengangkat pemimpin non muslim selama statusnya itu berada di bawah pemimpin tertinggi. Umat islam masih dimungkinkan untuk mengangkat pemimpin non muslim apabila masuk kategori al-Wilayah alKhassah atau jabatan di bawah jabatan kepala negara. Dalam hal inilah para ulama berbeda pendapat atas boleh dan tidaknya dilakukan hal itu.
Para ulama menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam pemerintahan itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu al-Wilayah aludzma atau sering juga disebut dengan Al-Wilayah Al-Ammah atau al-Imamah al-Kubra atau Al-Khilafah al-Ammah atau dalam bahasa mudahnya, pemimpin tertinggi dalam suatu negara.. Pada level ini, jabatan seorang pemimpin haruslah dipegang dari kalangan muslim, dengan catatan negara itu penduduknya mayoritas muslim.
Yang kedua adalah al-Wilayah al-Khassah atau kepemipinan khusus. Kepemimpinan level ini mencakup kepemipinan di bawah kepala negara seperti Mentri, Gubernur, Bupati, Walikota dan jabatan di bawahnya seperti Dirjen, Kadis, Kabag, Kasie, dan seterusnya. Pada level ini sebagian ulama memperbolehkan mengangkat non muslim sebagai pemangku jabatan tertinggi di level-level tersebut, Demikian pula ada yang memperbolehkan wanita untuk memangkunya.
Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa larangan pengangkatan pemimpin dari kalangan non musliam berlaku apabila negara berada dalam kondisi normal. Sebaliknya apabila sedang dalam kondisi darurat, di mana ada kondisi yang memang tidak bisa ditangani oleh kaum muslimin atau terdapat indikasi adanya ketidakberesan dari pemimpin muslim itu sendiri, maka diperbolehkan untuk mengangkat pemimpin non muslim.
"Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat islam, dan akan lebih aman berada di tangan kafir dzimmi walaupun karena rasa takutnya kepada penguasa.
Maka dalam konteks ini boleh menyerahkan jabatan kepadanya karena adanya dlarurah untuk mewujudkan kemaslahatan sesuatu yang dia diangkat untuk mengurusinya. Meskipun demikian, bagi pihak yang mengangkatnya, harus selalu mengawasi orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari gangguan terhadap siapapun dari kalangan umat Islam."
(Ibnu Hajar Al-Haitsami, Tuhfah al-Muhtaj, dalam Abdul Hami asy-Syarwani dan Ibnu Qasim Al-Abbadi, hawasyi Asy-Syarwani wa Al-Abbadi, Mesir at-Tjariyah al-Kubra, tt, juz 9, h. 73).
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa diperbolehkan untuk mengangkat pemimpin dari orang non muslim atau kafir dzimmi untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu apabila dalam keadaan darurat dan selain itu harus diiringi dengan pengawasan yang ketat agar pemimpin non muslim tersebut tidak melakukan sesuatu yang merugikan pihak islam ataupun masyarakat secara umum.
Apabila ada pemimpin muslim yang terbukti korupsi atau terlibat suap atau tindak kriminal lainnya, maka diperbolehkan menyerahkan kepemimpinan kepada pemimpin non muslim yang dipercaya jujur
Dalam bahasa mudahnya adalah apabila ada pemimpin muslim yang terbukti korupsi atau terlibat suap atau tindak kriminal lainnya, maka diperbolehkan menyerahkan kepemimpinan kepada pemimpin non muslim yang dipercaya jujur. Begitupun boleh mengangkat pemimpin non muslim apabila dia mampu mengemban amanah serta menjaga uang rakyat dari para koruptor atau begal berdasi !.
Syaikh Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer membagi orang non muslim menjadi dua golongan, Pertama yaitu golongan yang berdamai dengan orang-orang islam, dan tidak memerangi mereka. Golongan ini dinamakan kafir dzimmi. Terhadap golongan ini, umat islam wajib berbuat baik dan adil, Diantaranya adalah memberikan hak-hak politik sebagai warga negara yang setara dengan orang islam.
Sedangkan golongan kedua yaitu golongan yang secara terang-terangan memusuhi atau memerangi umat islam, yang dikenal denga sebutan kafir harbi. Terhadap golongan ini umat islam diharamkan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Bahkan ada yang menghalalkan darahnya. Pendapat beliau ini didasarkan pada ayat berikut:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (Qs.Al-Mumtahanah: 8).
Dari penjelasan terakhir ini dapat disimpulkan bahwa hukum larangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim karena adanya illat, yaitu kekhawatiran akan timbulnya dampak negatif dari si pemimpin tersebut. Apabila tidak ada maka boleh hukumnya untuk memilih pemimpin dari non muslim.
Sekarang kita masuk ke dalam persoalan Ahok yang oleh sebagian masyarakat muslim dilarang keras untuk menjadi pemimpin. Menurut hemat saya pribadi, masyarakat muslim Jakarta sah-sah saja menentang pengangkatan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta, karena masyarakat muslim Jakarta memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya, yaitu salah satunya adalah menyuarakan pendapat mereka.
Namun harus diingat pula bahwa DKI Jakarta bukan hanya dihuni oleh orang islam saja. Sebagai wilayah yang bersifat heterogen dan menjadi melting pot (pertemuan penduduk dari seluruh negeri), Jakarta juga dihuni oleh non muslim dan mereka juga memiliki hak untuk mendukung dan memilih Ahok sebagai pemimpin mereka.
Alangkah naifnya jika ada segolongan orang (atas nama agama) atau satu suku tertentu yang mengklaim Jakarta adalah milik mereka pribadi dengan menafikan eksistensi golongan atau suku-suku lainnya
Alangkah naifnya jika ada segolongan orang (atas nama agama) atau satu suku terentu yang mengklaim Jakarta adalah milik mereka pribadi dengan menafikan eksistensi golongan atau suku-suku lainnya yang sesungguhnya sama-sama ber-KTP DKI Jakarta. Apalagi klaim itu kemudian diikuti dengan tindakan anarkis yang berpotensi melanggr hukum.
Namun demikian alangkah lebih bijaknya apabila ketidaksetujuan terhadap Ahok dilakukan dengan damai dan tidak mempersoalkan Ahok karena status agama ataupun keyakinannya tersebut. Sebab seperti yang telah diterangkan sebelumnya, pada level Gubernur, sebagian ulama berpendapat tentang bolehnya mengangkat pemimpin dari pihak non muslim dengan ketentuan yang telah dijelaskan di awal pembahasan kita tadi. Karena itu ada baiknya tidak mempermasalahkan status agama yang dimiliki Ahok.
Akan tetapi yang bisa dikritisi adalah kualitas kepemimpinannya selama ini apakah memang bisa berkontribusi positif ataukah tidak. Kalau sekiranya tidak, maka baik pihak pemerintah ataupun masyarkat jakarta harus menyadari hal tersebut dan mengupayakan untuk penggantian pemimpin baru selain Ahok.
Akan tetapi sebaliknya, apabila memang Ahok terbukti dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat jakarta, maka kiranya masyarakat jakarta harus mematuhi hukum yang berlaku di Indonesia. UUD 45 pasal 28 ayat 3 mengatakan, "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan."
Kita tahu bahwasanya konstitusi adalah kesepakatan dan konsesus yang dibuat oleh seluruh warga negara, yang diwakili oleh wakil-wakilnya di MPR. karena itu wajib hukumnya bagi seluruh warga negara untuk mentaati dan mematuhinya.
Para ulama menjelaskan bahwa aqad atau perjanjian yang harus dipenuhi atau dipegang teguh adalah janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dbuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. berdasarkan pada ayat di atas secara jelas bahwa umat islam harus mampu memegang teguh perjanjian yang telah dibuat bersama dalam rangka membangun dan menjaga keutuhan negara yang kita cintai ini, NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Sebab perjanjian yang telah dibuat 100 % jelas tujuannya yaitu dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan serta sebagai instrumen pendukung bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat indonesia secara umum. Karena itu, seluruh aktifitas yang berpotensi memecahbelah persatuan dan kesatuan dapat ditafsirkan sebagai tidak hanya bertentangan dengan konstitusi akan tetapi sangat bertentangan dengan ajaran agama islam.
Pada konteks inilah masyarakat muslim wajib memiliki ruang gerak untuk bertoleransi kepada Ahok ataupun kepada pemimpin non muslim lainnya di bawah Presiden lainnya. Tentu saja tetap harus dilakukan pendampingan dan pengawasan yang ketat agar kepentingan hidup umat islam tetap dapat terpenuhi dengan baik. Semoga Indonesia menjadi lebih baik untuk ke depannya.
Author : Khairul Azzam El Maliky, penulis Novel
Editor : Hendra Gunawan
Editor Note : Artikel ini adalah amanah yang dititipkan kepada admin untuk dimuat di blog ini. Adapun seluruh isi kandungan artikel ini yang berupa penjelasan maupun opini adalah mewakili pandangan pribadi penulisnya dan sama sekali tidak terkait dengan blog Bahtera Hikmah. Terima kasih
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.
0Komentar
Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)